YM Agung Pratiknyo
Entah ini pagi yang keberapa, saya tidak ingin mengingat. Perjalanan lewat laut, darat, kemudian laut dan darat lagi, terlalu sulit untuk dikalkulasi. Sekarang saya memasuki Larantuka, daerah paling timur di Pulau Flores.
Orang – orang Larantuka hidup dikaki perbukitan. Terpencar di
lereng dan lembah yang panjang dan berliku. Mereka beternak
babi, menggerus sawah yang berjenjang,
memungut hasil hutan dan mencari kayu. Sinetron tidak sampai
sini. Ceramah presiden seputar BBM juga
tak terdengar. Kalaupun ada, paling di kawasan pasar Larantuka yang
telah tersentuh oleh peradapan modern.
Malam tiba dan warga bergegas menyalakan lampu minyak tanah.
Orang-orang di sini berkulit hampir hitam pekat. Beberapa berhidung mancung dan berwajah
ramah. Mereka tidur
di rumah-rumah beratap ijuk.
Itu ‘Adonara’ ujar
Orin,gadis cantik yang saya temui di samping penginapan. Dia mengajak saya
duduk-duduk di Pantai Pulo guna menikmati ombak dan perahu kecil yang lalu lalang.
Sebuah desa terlihat di kejauhan. Kata Orin butuh 10 menit
untuk menjangkaunya, melewati pusaran air di selat biru. Sayapun menyeberang
bersama beberapa orang yang hendak berangkat ke ladang.
Inilah Wure, kata seorang kakek. “ Desa kami hanya ramai
saat Paskah, ketika Yesus diusung ke seberang lautan itu.” katanya. Dalam perayaan Paskah, lonceng gereja dan
suara koor mengalun tenang dari bibir perempuan- perempuan Wure, lalu Yesus
yang di paku di tiang salib, lewat.
Dua minggu lagi, Larantuka akan dibanjiri pendatang yang
hendak berziarah, mengikuti drama, melebur dalam iring – iringan penyaliban
Yesus, lalu mengunjungi makam – makam tua. Drama religi ini berlangsung satu minggu,
dari Minggu Palma hingga Minggu Paskah. Warga menyebutnya Semana Santa, artinya
pecan suci.
Banyak peserta Semana Santa datang dari seberang benua,
termasuk Portugal, negeri yang membawa ajaran Katolik ke Larantuka. Tekad tiap
orang beragam. Ada yang membawa niat suci. Ada yang sekadar melepas hajat yang belum terkabulkan . Yang pasti,
mereka hendak menggapai Tuhan.
“Ini Vatikan kedua “ sela seorang pria yang sedang mengasah
tempuling. Tak lama lagi, semua penginapan akan dipenuhi peziarah. Beberapa
stasiun televisi akan menyiarkannya di sela – sela sinetron yang
ratingnya jauh lebih tinggi.
Hidup disini dinikmati dengan cara yang sederhana. Perempuan
– perempuan menghabiskan hari dengan mengunyah pinang, membiarkan angan
melayang sambil tertawa dan memperlihatkan gigi yang memerah. Mereka lebih
memilih pinang daripada moke. Diwaktu yang lain, mereka mengisi hari dengan menenun.
Perempuan – perempuan Larantuka memiliki
jari yang lentik
dan cekatan. Dengan sabar mereka menenun menyilangkan benang helai demi helai,
membubuhkan warna , lalu membentuk corak. Disaat Paskah, pedagang dating untuk
memborong hasil keringat mereka.
Warisan Portugis terus hidup di Larantuka dalam wujud
patung, gereja, agama, juga nama – nama orang. Hikayatnya dimulai pada 1511
saat Alfonso De Albuquerque menguasai Malaka, lalu setahun kemudian mengirim
delegasi ke Indonesia Timur dibawah moto “ Gold, Glory, Gospel” yang terkenal
itu. Misi perdagangan dan syiar agama membawa mereka ke pojok – pojok dunia.
Mei tahun ini atas nama sejarah dan persahabatan , Larantuka resmi menjadi “
Sister City “ Lisabon, ibukota Portugal.
Bunda Maria adalh figure sentral dalam kehidupan sepiritual
di Larantuka. Patungnya berkalungkan emas dan memegang tongkat yang
melambangkan kekuasaan raja. Alkisah, Fransisco Ola Ado Bala Diaz
Viera Deo Godinho (DVG), Raja Larantuka, Ola Ado Bala, meletakkan semua
kekuasaannya dalam perlindungan Bunda Maria. Tradisi ini dilanjutkan oleh raja –
raja penerus, hingga Larantuka dijuluki Kota Bunda Maria.
Obyek sacral lainnya, peti mati Yesus, disimpan di Kapel
Tuan Ana. Dalam Semana Santa peti ini diangkat empat orang yang memakai
pakaian putih dan topi merah. Identitas mereka dirahasiakan, bahkan dari
anggota keluarga sekalipun.
Menara Gereja |
Paskah adalah momen bagi benda – benda suci untuk
menampakkan wujudnya. Dan manusia menyambutnya dengan sepenuh hati. Warga
membersihkan Gereja, membenahi Kapel, juga memperbanyak kain tenun, walau satu
meter kain sebenarnya menuntut waktu pengerjaan satu bulan. Setahun sekali
Larantuka sebuah kecamatan di kaki Gunung Mandiri, berpendar dalam cahaya
agama.
Paskah juga menyulap Larantuka jadi kota berkabung. Waraga
dan pendatang melebur dalam duka yang dalam atas kematian Yesus dan kesedihan
yang dirasakan Bunda Maria. Bend – benda
sacral diarak dengan iringan air mata, wajah – wajah syahdu tertunduk dihadapan
Tuhan.
Liam abad telah berlalu sejak Portugis mendarat di tanah
ini, tapi warisan yang dibawanya tetap lestari.
Disarikan dari Majalah Jalanjalan Vol VII No 11 November
2012 “Lost In Larantuka”