agoda affiliate

”santika.com”

Senin, 04 Maret 2013

Semana Santa di Larantuka




Pekan suci... perayaan Paskah di kota ‘Vatikan’ kedua 
di ujung Flores,NTT,Indonesia


YM Agung Pratiknyo

Entah ini pagi yang keberapa, saya tidak ingin mengingat. Perjalanan lewat laut, darat, kemudian laut dan darat lagi, terlalu sulit untuk dikalkulasi. Sekarang saya memasuki Larantuka, daerah paling timur di Pulau Flores.

Orang – orang Larantuka hidup dikaki perbukitan. Terpencar di lereng dan lembah yang panjang dan berliku.  Mereka  beternak  babi, menggerus  sawah  yang  berjenjang, memungut  hasil  hutan dan mencari kayu. Sinetron tidak sampai sini. Ceramah presiden seputar BBM juga  tak terdengar. Kalaupun ada, paling di kawasan pasar Larantuka yang telah tersentuh oleh peradapan modern.
Malam tiba dan warga bergegas menyalakan lampu minyak tanah. Orang-orang di sini berkulit hampir hitam  pekat.  Beberapa  berhidung  mancung  dan  berwajah  ramah.  Mereka  tidur  di rumah-rumah beratap ijuk.

Itu  ‘Adonara’ ujar Orin,gadis cantik yang saya temui di samping penginapan. Dia mengajak saya duduk-duduk di Pantai Pulo guna menikmati  ombak dan perahu kecil yang lalu lalang.
Sebuah desa terlihat di kejauhan. Kata Orin butuh 10 menit untuk menjangkaunya, melewati pusaran air di selat biru. Sayapun menyeberang bersama beberapa orang yang hendak berangkat ke ladang.
Inilah Wure, kata seorang kakek. “ Desa kami hanya ramai saat Paskah, ketika Yesus diusung ke seberang lautan itu.” katanya.  Dalam perayaan Paskah, lonceng gereja dan suara koor mengalun tenang dari bibir perempuan- perempuan Wure, lalu Yesus yang di paku di tiang salib, lewat.
Dua minggu lagi, Larantuka akan dibanjiri pendatang yang hendak berziarah, mengikuti drama, melebur dalam iring – iringan penyaliban Yesus, lalu mengunjungi makam – makam tua. Drama religi ini berlangsung  satu  minggu, dari Minggu Palma hingga Minggu Paskah. Warga menyebutnya Semana Santa, artinya pecan suci.


Banyak peserta Semana Santa datang dari seberang benua, termasuk Portugal, negeri yang membawa ajaran Katolik ke Larantuka. Tekad tiap orang beragam. Ada yang membawa niat suci. Ada yang sekadar  melepas hajat yang belum terkabulkan . Yang pasti, mereka hendak menggapai Tuhan.
“Ini Vatikan kedua “ sela seorang pria yang sedang mengasah tempuling. Tak lama lagi, semua penginapan akan dipenuhi peziarah. Beberapa stasiun  televisi akan  menyiarkannya di sela – sela sinetron yang ratingnya jauh lebih tinggi.
Hidup disini dinikmati dengan cara yang sederhana. Perempuan – perempuan menghabiskan hari dengan mengunyah pinang, membiarkan angan melayang sambil tertawa dan memperlihatkan gigi yang memerah. Mereka lebih memilih pinang daripada moke. Diwaktu yang lain, mereka mengisi hari dengan menenun. Perempuan – perempuan Larantuka  memiliki  jari yang  lentik  dan cekatan. Dengan sabar mereka  menenun menyilangkan benang helai demi helai, membubuhkan warna , lalu membentuk corak. Disaat Paskah, pedagang dating untuk memborong hasil keringat mereka.

Warisan Portugis terus hidup di Larantuka dalam wujud patung, gereja, agama, juga nama – nama orang. Hikayatnya dimulai pada 1511 saat Alfonso De Albuquerque menguasai Malaka, lalu setahun kemudian mengirim delegasi ke Indonesia Timur dibawah moto “ Gold, Glory, Gospel” yang terkenal itu. Misi perdagangan dan syiar agama membawa mereka ke pojok – pojok dunia. Mei tahun ini atas nama sejarah dan persahabatan , Larantuka resmi menjadi “ Sister City “ Lisabon, ibukota Portugal.
Bunda Maria adalh figure sentral dalam kehidupan sepiritual di Larantuka. Patungnya berkalungkan emas dan memegang tongkat yang melambangkan  kekuasaan  raja. Alkisah, Fransisco Ola Ado Bala Diaz Viera Deo Godinho (DVG), Raja Larantuka, Ola Ado Bala, meletakkan semua kekuasaannya dalam perlindungan Bunda Maria. Tradisi ini dilanjutkan oleh raja – raja penerus, hingga Larantuka dijuluki Kota Bunda Maria.
Obyek sacral lainnya, peti mati Yesus, disimpan di Kapel Tuan Ana. Dalam Semana  Santa  peti ini diangkat empat orang yang memakai pakaian putih dan topi merah. Identitas mereka dirahasiakan, bahkan dari anggota keluarga sekalipun.
Menara Gereja

Paskah adalah momen bagi benda – benda suci untuk menampakkan wujudnya. Dan manusia menyambutnya dengan sepenuh hati. Warga membersihkan Gereja, membenahi Kapel, juga memperbanyak kain tenun, walau satu meter kain sebenarnya menuntut waktu pengerjaan satu bulan. Setahun sekali Larantuka sebuah kecamatan di kaki Gunung Mandiri, berpendar dalam cahaya agama.
Paskah juga menyulap Larantuka jadi kota berkabung. Waraga dan pendatang melebur dalam duka yang dalam atas kematian Yesus dan kesedihan yang dirasakan  Bunda Maria. Bend – benda sacral diarak dengan iringan air mata, wajah – wajah syahdu tertunduk dihadapan Tuhan.
Liam abad telah berlalu sejak Portugis mendarat di tanah ini, tapi warisan yang dibawanya tetap lestari.

Disarikan dari Majalah Jalanjalan Vol VII No 11 November 2012   “Lost In Larantuka”