agoda affiliate

”santika.com”

Kamis, 11 April 2013

Tembok Besar Cina



The Great Wall
Tembok Besar Cina , salah satu mahakarya paling kolosal dalam sejarah militer

Tembok Besar Cina mengular di puncak perbukitan terjal, mengukir lembah, dan merayap di tepi jurang. Musim dingin yang baru saja usai menebarkan bau dedaunan kering dan meninggalkan warna tunggal coklat tua sejauh mata memandang.

Panorama ini bagaikan sebuan lukisan. Namun saya harus berhati – hati. Dibeberapa titik, tembok perkasa ini tak lagi jumawa – rapuh dan ambruk dimakan usia. Disisinya ngarai dengan kedalaman ratusan meter menganga, siap menelan siapa saja yang ceroboh.
Saya berbagi pengalaman menakjubkan itu bersama Tian Mo, pria paruh baya yang baru sepuluh menit saya kenal. Dia berkendara dari Beijing selama satu setengah jam, lalu menyewa kamar di rumah petani di Desa Xi Zha Zi. Satu jam berikutnya, dia mendaki jalan setapak sejauh  dua kilometer  menuju Tembok Besar Jiankou, tempat kami bertemu dan menanti senja meredup.

“ Saya sudah menjelajahi kawasan ini 16 kali.” Cetus Tian Mo. “ Tapi jarang sekali bertemu orang asing seperti anda, mungkin karena tak banyak yang tahu”. Setelah saya menuturkan perjuanagn mencapai Xi Zha Zi, yakni menaiki bus umum dan mobil sewaan dia agak terkejut. “ Pastinya susah sekali ke sini tanpa menguasai bahasa Mandarin sedikitpun.”timpalnya.
Mayoritas wisatawan lazimnya memilih sisi Tembok Besar Cina yang popular didaerah Badaling atau Matianyu. Di kedua tempat touristy itu, pengunjung tak perlu khawatir soal urusan route dan bahasa. Mayoritas hotel dan penginapan di Beijing bahkan telah menyediakan paket-paket tur bertarif ekonomis kesana.

Sayangnya, komersialisasi berlebihan kerap merusak kesakralan tembok. Di Badaling misalnya, nyaris setiap jengkal tanah dipenuhi gerai waralaba, mulai dari Sturbuck dan KFC hingga para pedagang yang agresip menawarkan kaos bertuliskan “ I’ve climbed the great wall “ ( walau kita belum sempat mendakinya ). Wajar saja tempat ini seringkali diolok – olok sebagai “ The Great Mall “ atau “ Mc Mall “- Tembok Besar Cina versi cepat saji.
Rasa jenuh akan komersialisasi itulah yang memicu sebagian orang untuk mencari sisi – sisi tepi Tembok Besar Cina. William Lindesay adalah salah seorang pionir dari generasi tersebut.
Pada 1987, pria Inggris yang  tersohor  akibat usahanya merawat Tembok Besar Cina itu berjalan sejauh 2.470 kilometer demi  melacak bagian – bagian tembok yang berada di luar radar turis.  Dari temuannya pula lahir istilah ‘ Tembok Liar “.

Jiankou  adalah salah satu bagian dari Tembok Liar. Disini, Tembok Besar Cina yang dibangun amat tinggi di puncak – puncak bukit terlihat megah dalam keterasingannya. Dan pengunjung selalu bisa dihitung dengan jari, termasuk di hari – hari libur nasional Cina yang selalu heboh sekalipun. Barangkali disebabkan lokasi Jiankou yang terpencil atau kondisi temboknya yang sudah runtuh di sana – sini. Bagi sebagian orang, termasuk saya, keajaiban sederhana ini pantas diburu.
Nama Jiankou ( artinya buntut anak panah ) mempresentasikan kondisi sekitarnya, yakni perbukitan yang dipenuhi lekukan – lekukan ekstrem . pemberian nama di tembok Besar Cina memang kerap terinspirasi lanskap alam. Contohnya Yingfiedaoyang yang berarti ‘ bahkan elangpun terbang tinggi’ atauNiujiaobian yang berarti “tanduk sapi “

Saya dan Tian Mo menyusuri bagian demi bagian Jiankou. Selang beberapa menit, kami kembali menjumpai rute yang nyaris kolaps seluruhnya. Tepat di sebidang tembok tipis yang tersisa, tanaman liar setinggi orang dewasa merambat dan mengakar die la – sela bebatuan. “ Ini belum apa – apa” ujar Tian Mo. “ Di Beijingjie, kamu harus bergerak merangkak “. Lokasi yang dimaksudnya berada di sisi barat, tepat di bawah matahari yang tengah pulang. Beijingjie atau “ simpul Beijing “ merupakan pertemuan tiga jurusan tembok. Letaknya persis di puncak Bukit. Saya sebenarnya sempat kesana, tapi terpaksa mengurungkan niat di tengah jalan akibat terhadang oleh Tian Ti ( “tangga nirwana “), tembok dengan kemiringan nyaris 90 derajat denagn lebar hanya satu meter. Menggapai nirwana memang butuh perjuangan.

Kami berjalan kian jauh kea rah timur. Setelah melewati tangga yang dipenuhi pecahan batu, kami berhenti disebuah menara pengintai. Interionya telah hancur, jadi kami terpaksa memanjat atapnya demi menyaksikan lapisan kerak  bumi yang dipenuhi kerutan. Perlahan, rona mentari mengubah warna Tembok Besar Cina jadi kekuningan. Imajinasi saya terbawa ke peperangan selam ribuan tahun yang menyiksa kawasan utara Negeri Tirai Bambu, mulai dari gurun gersang di wilayah barat hingga Teluk Bo Hai dekat Korea. Di medan ganas ini, sejarah terasa begitu epik.

Adalah Qin Shi Huang yang berjasa besar membidani kelahiran Tembok Besar Cina. Pada 221 SM, saat dinobatkan jadi kaisar pertama Cina, dia menyadari kerentanan wilayahnya terhadap invasi suku nomaden dari utara. Mengandalkan ratusan ribu pekerja, dia lalu membangun dan menyatukanbeberapa dinding pembatas yang sudah eksis sejak jaman Sengoku ( Warring States Period ). Bahkan yang digunakan bukan batu, melainkan tanah. Benteng kuno Qin Shi Huang dinamakan Changcheng atau “tembok panjang”. Bentangannya mencapai 5.000 kilometer- salah satu proyek pertahanan paling ambisius dalam sejarah peradapan manusia.

bersambung......The Great Wall.



Di ambil dari majalah “jalanjalan” Edisi Juli 2012, Vol VIII No 07, hal 72-81