The Great Wall
Tembok Besar
Cina , salah satu
mahakarya paling kolosal dalam sejarah militer
Tembok Besar Cina mengular di puncak perbukitan terjal,
mengukir lembah, dan merayap di tepi jurang. Musim dingin yang baru saja usai
menebarkan bau dedaunan kering dan meninggalkan warna tunggal coklat tua sejauh
mata memandang.
Panorama ini
bagaikan sebuan lukisan. Namun saya harus berhati – hati. Dibeberapa titik,
tembok perkasa ini tak lagi jumawa – rapuh dan ambruk dimakan usia. Disisinya
ngarai dengan kedalaman ratusan meter menganga, siap menelan siapa saja yang
ceroboh.
Saya berbagi pengalaman menakjubkan itu bersama Tian Mo,
pria paruh baya yang baru sepuluh menit saya kenal. Dia berkendara dari Beijing
selama satu setengah jam, lalu menyewa kamar di rumah petani di Desa Xi Zha Zi.
Satu jam berikutnya, dia mendaki jalan setapak sejauh dua kilometer
menuju Tembok Besar Jiankou, tempat kami bertemu dan menanti senja
meredup.
“ Saya sudah menjelajahi kawasan ini 16 kali.” Cetus Tian
Mo. “ Tapi jarang sekali bertemu orang asing seperti anda, mungkin karena tak
banyak yang tahu”. Setelah saya menuturkan perjuanagn mencapai Xi Zha Zi, yakni
menaiki bus umum dan mobil sewaan dia agak terkejut. “ Pastinya susah sekali ke
sini tanpa menguasai bahasa Mandarin sedikitpun.”timpalnya.
Mayoritas wisatawan lazimnya memilih sisi Tembok Besar Cina
yang popular didaerah Badaling atau Matianyu. Di kedua tempat touristy itu,
pengunjung tak perlu khawatir soal urusan route dan bahasa. Mayoritas hotel dan penginapan di Beijing bahkan telah menyediakan paket-paket tur
bertarif ekonomis kesana.
Sayangnya, komersialisasi berlebihan kerap merusak
kesakralan tembok. Di Badaling misalnya, nyaris setiap jengkal tanah dipenuhi gerai waralaba,
mulai dari Sturbuck dan KFC hingga para pedagang yang agresip menawarkan kaos
bertuliskan “ I’ve climbed the great wall “ ( walau kita belum sempat
mendakinya ). Wajar saja tempat ini seringkali diolok – olok sebagai “ The
Great Mall “ atau “ Mc Mall “- Tembok Besar Cina versi cepat saji.
Rasa jenuh akan komersialisasi itulah yang memicu sebagian
orang untuk mencari sisi – sisi tepi Tembok Besar Cina. William Lindesay adalah
salah seorang pionir dari generasi tersebut.
Pada 1987, pria Inggris yang tersohor akibat usahanya merawat Tembok Besar Cina itu
berjalan sejauh 2.470 kilometer demi melacak
bagian – bagian tembok yang berada di luar radar turis. Dari temuannya pula lahir istilah ‘ Tembok
Liar “.
Jiankou adalah salah
satu bagian dari Tembok Liar. Disini, Tembok Besar Cina yang dibangun amat
tinggi di puncak – puncak bukit terlihat megah dalam keterasingannya. Dan
pengunjung selalu bisa dihitung dengan jari, termasuk di hari – hari libur
nasional Cina yang selalu heboh sekalipun. Barangkali disebabkan lokasi Jiankou
yang terpencil atau kondisi temboknya yang sudah runtuh di sana – sini. Bagi
sebagian orang, termasuk saya, keajaiban sederhana ini pantas diburu.
Nama Jiankou ( artinya buntut anak panah ) mempresentasikan
kondisi sekitarnya, yakni perbukitan yang dipenuhi lekukan – lekukan ekstrem .
pemberian nama di tembok Besar Cina memang kerap terinspirasi lanskap alam.
Contohnya Yingfiedaoyang yang berarti ‘ bahkan elangpun terbang tinggi’ atauNiujiaobian
yang berarti “tanduk sapi “
Saya dan Tian Mo menyusuri bagian demi bagian Jiankou.
Selang beberapa menit, kami kembali menjumpai rute yang nyaris kolaps
seluruhnya. Tepat di sebidang tembok tipis yang tersisa, tanaman liar setinggi
orang dewasa merambat dan mengakar die la – sela bebatuan. “ Ini belum apa –
apa” ujar Tian Mo. “ Di Beijingjie, kamu harus bergerak merangkak “. Lokasi
yang dimaksudnya berada di sisi barat, tepat di bawah matahari yang tengah
pulang. Beijingjie atau “ simpul Beijing “ merupakan pertemuan tiga jurusan
tembok. Letaknya persis di puncak Bukit. Saya sebenarnya sempat kesana, tapi
terpaksa mengurungkan niat di tengah jalan akibat terhadang oleh Tian Ti (
“tangga nirwana “), tembok dengan kemiringan nyaris 90 derajat denagn lebar
hanya satu meter. Menggapai nirwana memang butuh perjuangan.
Kami berjalan kian jauh kea rah timur. Setelah melewati
tangga yang dipenuhi pecahan batu, kami berhenti disebuah menara pengintai.
Interionya telah hancur, jadi kami terpaksa memanjat atapnya demi menyaksikan
lapisan kerak bumi yang dipenuhi
kerutan. Perlahan, rona mentari mengubah warna Tembok Besar Cina jadi
kekuningan. Imajinasi saya terbawa ke peperangan selam ribuan tahun yang
menyiksa kawasan utara Negeri Tirai Bambu, mulai dari gurun gersang di wilayah
barat hingga Teluk Bo Hai dekat Korea. Di medan ganas ini, sejarah terasa
begitu epik.
bersambung......The Great Wall.
Di ambil dari majalah “jalanjalan” Edisi Juli 2012, Vol VIII
No 07, hal 72-81